Bagaimana
kamu tahu bahwa cinta kamu cukup dalam untuk menghantar kamu ke arah
berdampingan seumur hidup, menuju kepada kesetiaan yang sempurna?Bagaimana kamu dapat yakin bahwa cinta kamu cukup matang untuk diikat
sumpah nikah serta janji untuk berdampingan seumur hidup sampai maut
memisahkan?
sumpah nikah serta janji untuk berdampingan seumur hidup sampai maut
memisahkan?
Pertama, Ujian untuk merasakan sesuatu bersama.Cinta sejati ingin merasakan bersama, memberi, mengulurkan tangan.Cinta
sejati memikirkan pihak yang lainnya, bukan memikirkan diri sendiri. Jika
kalian membaca sesuatu, pernahkah kalian berpikir, aku ingin membagi ini
bersama sahabatku?
Jika kalian merencanakan sesuatu,adakah kalian hanya berpikir tentang apa
yang ingin kalian lakukan, ataukah apa yang akan menyenangkan pihak lain?
Sebagaimana Herman Oeser, seorang penulis Jerman pernah mengatakan,
"Mereka yang ingin bahagia sendiri,janganlah kawin. Karena yang penting
dalam perkawinan ialah membuat pihak yang lain bahagia. Mereka yang ingin
dimengerti pihak yang lain, janganlah kawin. Karena yang penting di sini
ialah mengerti pasangannya.
Maka batu ujian yang pertama ialah:
"Apakah kita bisa sama-sama merasakan sesuatu?
Apakah aku ingin menjadi bahagia atau membuat pihak yang lain bahagia?"
Kedua, Ujian kekuatan.Saya pernah menerima surat dari seorang yang jatuh cinta, tapi sedang
risau hatinya. Dia pernah membaca entah di mana, bahwa berat badan
seseorang akan berkurang kalau orang itu betul-betul jatuh cinta. Meskipun dia
sendiri mencurahkan segala perasaan cintanya, dia tidak kehilangan berat badannya
dan inilah yang merisaukan hatinya. Memang benar, bahwa pengalaman cinta
itu juga bisa mempengaruhi keadaan jasmani. Tapi dalam jangka panjang
cinta sejati tidak akan menghilangkan kekuatan kalian; bahkan sebaliknya akan
memberikan kekuatan dan tenaga baru pada kalian. Cinta akan memenuhi
kalian dengan kegembiraan serta membuat kalian kreaktif, dan ingin
menghasilkan lebih banyak lagi.
Batu ujian kedua:
"Apakah cinta kita memberi kekuatan baru dan memenuhi kita dengan tenaga
kreaktif, ataukah cinta kita justru menghilangkan kekuatan dan tenaga
kita?"
Ketiga, Ujian penghargaan.Cinta sejati berarti juga menjunjung tinggi pihak yang lain. Seorang gadis
mungkin mengagumi seorang jejaka, ketika ia melihatnya bermain bola dan
mencetak banyak gol. Tapi jika ia bertanya pada diri sendiri, "apakah aku
mengingini dia sebagai ayah dari anak-anakku? ", jawabnya sering sekali
menjadi negatif. Seorang pemuda mungkin mengagumi seorang gadis, yang
dilihatnya sedang berdansa. Tapi sewaktu ia bertanya pada diri sendiri,
"apakah aku mengingini dia sebagai ibu dari anak-anakku? ", gadis tadi
mungkin akan berubah dalam pandangannya.
Pertanyaannya ialah: "Apakah kita benar-benar sudah punya penghargaan yang
tinggi satu kepada yang lainnya?
Apa aku bangga atas pasanganku?"
Keempat, Ujian kebiasaan.Pada suatu hari seorang gadis Eropa yang sudah bertunangan datang pada
saya. Dia sangat risau, "Aku sangat mencintai tunanganku," katanya, "tapi aku
tak tahan caranya dia makan apel." Gelak tawa penuh pengertian memenuhi
ruangan.
"Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya. Jangan kawin
berdasarkan paham cicilan, lalu mengira bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan
berubah di kemudian hari. Kemungkinan besar itu takkan terjadi. Kalian
harus menerima pasanganmu sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan dan
kekurangannya.
Pertanyaannya: "Apakah kita hanya saling mencintai atau juga saling
menyukai?"
Kelima, Ujian pertengkaran .Bilamana sepasang muda mudi datang mengatakan ingin kawin, saya selalu
menanyakan mereka, apakah mereka pernah sesekali benar-benar bertengkar -
tidak hanya berupa perbedaan pendapat yang kecil, tetapi benar-benar
bagaikan berperang. Seringkali mereka menjawab, "Ah, belum pernah, pak,
kami saling mencintai." Saya katakan kepada mereka, "Bertengkarlah dahulu
barulah akan kukawinkan kalian." Persoalannya tentulah, bukan
pertengkarannya, tapi kesanggupan untuk saling berdamai lagi. Kemampuan
ini mesti dilatih dan diuji sebelum kawin. Bukan seks, tapi batu ujian
pertengkaranlah yang merupakan pengalaman yang "dibutuhkan" sebelum
kawin.
Pertanyaannya: "Bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?"
Keenam, Ujian waktu.Sepasang muda mudi datang kepada saya untuk dikawinkan. "Sudah berapa lama
kalian saling mencintai?" tanya saya. "Sudah tiga, hampir empat minggu,"
jawab mereka. Ini terlalu singkat. Menurut saya minimum satu tahun
bolehlah.
Dua tahun lebih baik lagi. Ada baiknya untuk saling bertemu, bukan saja
pada hari-hari libur atau hari minggu dengan berpakaian rapih, tapi juga
pada
saat bekerja di dalam hidup sehari-hari, waktu belum rapi, atau cukur,
masih mengenakan kaos oblong, belum cuci muka, rambut masih awut-awutan,
dalam
suasana yang tegang atau berbahaya. Ada suatu peribahasa kuno, "Jangan
kawin sebelum mengalami musim panas dan musim dingin bersama dengan
pasanganmu."
Sekiranya kalian ragu-ragu tentang perasaan cintamu, sang waktu akan
memberi kepastian.
Tanyakan: "Apakah cinta kita telah melewati musim panas dan musim dingin?
Sudah cukup lamakah kita saling mengenal?"
sejati memikirkan pihak yang lainnya, bukan memikirkan diri sendiri. Jika
kalian membaca sesuatu, pernahkah kalian berpikir, aku ingin membagi ini
bersama sahabatku?
Jika kalian merencanakan sesuatu,adakah kalian hanya berpikir tentang apa
yang ingin kalian lakukan, ataukah apa yang akan menyenangkan pihak lain?
Sebagaimana Herman Oeser, seorang penulis Jerman pernah mengatakan,
"Mereka yang ingin bahagia sendiri,janganlah kawin. Karena yang penting
dalam perkawinan ialah membuat pihak yang lain bahagia. Mereka yang ingin
dimengerti pihak yang lain, janganlah kawin. Karena yang penting di sini
ialah mengerti pasangannya.
Maka batu ujian yang pertama ialah:
"Apakah kita bisa sama-sama merasakan sesuatu?
Apakah aku ingin menjadi bahagia atau membuat pihak yang lain bahagia?"
Kedua, Ujian kekuatan.Saya pernah menerima surat dari seorang yang jatuh cinta, tapi sedang
risau hatinya. Dia pernah membaca entah di mana, bahwa berat badan
seseorang akan berkurang kalau orang itu betul-betul jatuh cinta. Meskipun dia
sendiri mencurahkan segala perasaan cintanya, dia tidak kehilangan berat badannya
dan inilah yang merisaukan hatinya. Memang benar, bahwa pengalaman cinta
itu juga bisa mempengaruhi keadaan jasmani. Tapi dalam jangka panjang
cinta sejati tidak akan menghilangkan kekuatan kalian; bahkan sebaliknya akan
memberikan kekuatan dan tenaga baru pada kalian. Cinta akan memenuhi
kalian dengan kegembiraan serta membuat kalian kreaktif, dan ingin
menghasilkan lebih banyak lagi.
Batu ujian kedua:
"Apakah cinta kita memberi kekuatan baru dan memenuhi kita dengan tenaga
kreaktif, ataukah cinta kita justru menghilangkan kekuatan dan tenaga
kita?"
Ketiga, Ujian penghargaan.Cinta sejati berarti juga menjunjung tinggi pihak yang lain. Seorang gadis
mungkin mengagumi seorang jejaka, ketika ia melihatnya bermain bola dan
mencetak banyak gol. Tapi jika ia bertanya pada diri sendiri, "apakah aku
mengingini dia sebagai ayah dari anak-anakku? ", jawabnya sering sekali
menjadi negatif. Seorang pemuda mungkin mengagumi seorang gadis, yang
dilihatnya sedang berdansa. Tapi sewaktu ia bertanya pada diri sendiri,
"apakah aku mengingini dia sebagai ibu dari anak-anakku? ", gadis tadi
mungkin akan berubah dalam pandangannya.
Pertanyaannya ialah: "Apakah kita benar-benar sudah punya penghargaan yang
tinggi satu kepada yang lainnya?
Apa aku bangga atas pasanganku?"
Keempat, Ujian kebiasaan.Pada suatu hari seorang gadis Eropa yang sudah bertunangan datang pada
saya. Dia sangat risau, "Aku sangat mencintai tunanganku," katanya, "tapi aku
tak tahan caranya dia makan apel." Gelak tawa penuh pengertian memenuhi
ruangan.
"Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya. Jangan kawin
berdasarkan paham cicilan, lalu mengira bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan
berubah di kemudian hari. Kemungkinan besar itu takkan terjadi. Kalian
harus menerima pasanganmu sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan dan
kekurangannya.
Pertanyaannya: "Apakah kita hanya saling mencintai atau juga saling
menyukai?"
Kelima, Ujian pertengkaran .Bilamana sepasang muda mudi datang mengatakan ingin kawin, saya selalu
menanyakan mereka, apakah mereka pernah sesekali benar-benar bertengkar -
tidak hanya berupa perbedaan pendapat yang kecil, tetapi benar-benar
bagaikan berperang. Seringkali mereka menjawab, "Ah, belum pernah, pak,
kami saling mencintai." Saya katakan kepada mereka, "Bertengkarlah dahulu
barulah akan kukawinkan kalian." Persoalannya tentulah, bukan
pertengkarannya, tapi kesanggupan untuk saling berdamai lagi. Kemampuan
ini mesti dilatih dan diuji sebelum kawin. Bukan seks, tapi batu ujian
pertengkaranlah yang merupakan pengalaman yang "dibutuhkan" sebelum
kawin.
Pertanyaannya: "Bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?"
Keenam, Ujian waktu.Sepasang muda mudi datang kepada saya untuk dikawinkan. "Sudah berapa lama
kalian saling mencintai?" tanya saya. "Sudah tiga, hampir empat minggu,"
jawab mereka. Ini terlalu singkat. Menurut saya minimum satu tahun
bolehlah.
Dua tahun lebih baik lagi. Ada baiknya untuk saling bertemu, bukan saja
pada hari-hari libur atau hari minggu dengan berpakaian rapih, tapi juga
pada
saat bekerja di dalam hidup sehari-hari, waktu belum rapi, atau cukur,
masih mengenakan kaos oblong, belum cuci muka, rambut masih awut-awutan,
dalam
suasana yang tegang atau berbahaya. Ada suatu peribahasa kuno, "Jangan
kawin sebelum mengalami musim panas dan musim dingin bersama dengan
pasanganmu."
Sekiranya kalian ragu-ragu tentang perasaan cintamu, sang waktu akan
memberi kepastian.
Tanyakan: "Apakah cinta kita telah melewati musim panas dan musim dingin?
Sudah cukup lamakah kita saling mengenal?"