Budaya
hidup sehat sepertinya masih 'menjauh' dari sebagian masyarakat
Indonesia. Hal ini terbukti, hampir 70% masyarakat masih terbiasa buang
air besar (BAB) sembarangan.
Di
antara negara-negara Asean, Indonesia masih tertinggal terkait
jangkauan akses penduduk untuk sektor air dan sanitasi. Malaysia
memiliki 100 persen cakupan akses air dan 96 persen cakupan sanitasi.
Indonesia? Di bawah Filipina dan Kamboja!
Dampaknya,
sebanyak 70 juta penduduk Indonesia masih buang air besar sembarangan.
Imbasnya, dari setiap 100 ribu bayi yang lahir, 75 di antaranya
meninggal sebelum menginjak usia lima tahun akibat diare. Setiap tahun,
15 ribu anak meninggal akibat yang sama. Ada lebih dari 423 kasus per
1.000 penduduk.
"Diare
terjadi bila perut kita terinfeksi mikroba yang dibawa tinja," jelas
Oswar Mungkasa, Kepala Biro Perencanaan & Penganggaran Kementerian
Perumahan Rakyat, di hadapan para pelajar SMP dan SMA dalam acara Wash
Talk 'Ada Apa Dengan Sanitasi Air Minum dan Higinitas di Negeri Ini',
yang diadakan USAID Indonesia melalui proyek IUWASH (Indonesia Urban
Water Sanitation and Hygiene), dalam rangka 50th USAID, di Jakarta.
Tak
hanya diare. Penyakit demam tifus, kolera hingga hepatitis A
menghantui masyarakat akibat mikroba yang terbawa oleh perilaku tidak
sehat masyarakat. Parahnya, bagi orang miskin, sanitasi tidak menjadi
prioritas utama. Ini yang membuat 80 persen air tanah tercemar.
Sementara
itu, Alfred Nakatsuma, Director Environment Program USAID Indonesia,
menambahkan, persoalan sanitasi tak hanya di Indonesia. Lebih dari satu
miliar orang di dunia tidak bisa mendapatkan air bersih. Sekitar 40
persen penduduk dunia tidak punya fasilitas untuk buang air besar.
"Satu
miliar orang masih buang air besar di alam terbuka. Dari jumlah itu,
81 persennya terjadi di India, Indonesia, China, Ethiopia, Pakistan,
Nigeria, Sudan, Nepal, Brazil, Niger, dan Bangladesh," ungkapnya.
Karenanya,
pembangunan air dan sanitasi memerlukan perencanaan pemerintah dan
partisipasi masyarakat. Pembangunan sektor ini butuh dukungan banyak
pihak.
Masyarakat
harus bisa melakukan perubahan untuk diri sendiri dan lingkungannya.
Harus diingat, 94 persen insiden diare karena faktor lingkungan berupa
konsumsi air yang tidak sehat dan sanitasi yang buruk.
"Karenanya,
remaja sebagai agen perubahan berpotensi mendukung pembangunan sektor
ini. Modal utama sebenarnya kesadaran dan kemauan dari diri sendiri.
Ini bukan lagi masalah pribadi," pungkas Alfred. [mdr]