
Menjelang
beberapa saat lagi umat Islam akan merayakan Idul Adha yang identik
dengan ibadah Haji. Harapan bagi mereka yang mengerjakan rukun Islam
ke-lima tersebut adalah menjadi haji mabrur yang ditandai dengan
peningkatan iman dan ketakwaan kepada sang pencipta yakni Allah SWT.
Idul Adha yang menurut definisi istilah adalah udhhiyyah, idhhiyah,
dhahiyyah, dhihiyyah, adhha, idhhat dan dhahiyyah, yang berarti hewan
yang disembelih dengan tujuan taqarrub (pendekatan) kepada Tuhan pada
hari Idul Adha sampai akhir hari-hari Tasyriq. Diambil dari kata dhahwah
disebutkan bahwa waktu pelaksanaan penyembelihan yaitu dhuha (Lisanul
Arab 19:211, Mu'jam Al Wasith 1:537). Dalam kesempatan ini penulis tidak
akan membahas mendetail tentang teknis pelaksaan Idul Qurban tersebut,
namun lebih pada penggalian esensi makna cinta yang terkandung
didalamnya.
Bagi
sebagian orang awam terkesan bahwa Idul Adha adalah hanyalah lebarannya
'orang berduit' saja. Perayaannya yang dikaitkan dengan ibadah haji dan
qurban bagi orang yang mampu menimbulkan bias dalam penafsiran makna
yang sesungguhnya untuk Idul Adha tersebut. Karena masyarakat Indonesia
bersifat kolektifistik sehingga hal ini menyebabkan mereka sangat gemar
menggunakan simbol-simbol lambang untuk menafsirkan suatu peristiwa.
Penciptaan simbol-simbol yang akhirnya akan menimbulkan stereotipe ini
biasanya mengakar erat dalam pola pandang dan berpikir mereka. Kesalahan
penafsiran makna inilah yang sangat ditakutkan akan menciptakan bencana
dan kerugian bagi umat manusia selanjutnya. Oleh karenanya tidaklah
salah bila kita berupaya kembali menggali makna nilai-nilai sebenarnya
yang ada dalam Idul Qurban tersebut dikaitkan dengan kondisi aktual saat
ini.
Bencana
demi bencana telah mendera bangsa Indonesia, mulai dari krisis ekonomi,
banjir, kelaparan dan kemiskinan. Dalam hal ini tetap saja yang
menderita adalah mereka yang hidupnya serba kekurangan atau miskin.
Seolah-olah bencana tidak pernah ada henti-hentinya dan mereka harus
terus menikmati ritme bencana yang akhirnya akan membuat mereka semakin
apriori terhadap lingkungan. Perasaan arogan terhadap lingkungan dan
kebencian terhadap kaum ada (orang kaya) dalam diri mereka membuat
sekat-sekat untuk anti berhubungan dengan mereka yang dianggap kaum
aristokrat. Begitu juga dengan golongan yang kaya dan berada, mereka
akan semakin anti dan 'jijik' berhubungan dengan orang-orang miskin.
Hubungan antara kedua golongan ini yang ada selama ini hanyalah pada
sebuah kotak yang bernama kotak amal atau pundi-pundi sumbangan. Bagi
orang-orang kaya, tinggal memasukkan sejumlah uang ke dalam kotak atau
rekening, selesai sudah hubungan mereka dengan mereka. Tak peduli apakah
dana tersebut cukup, lebih, kurang tersampaikan dan sebagainya. Bagi
mereka kesemua barometer tersebut hanyalah sebuah angka permainan
manajemennya saja. Gejala-gejala seperti itulah yang terjadi saat ini di
setiap lapisan dan golongan di masyarakat. Konflik demi konflik
diselesaikan bukan pada posisi tatap muka, tapi lebih pada penyelesaian
tatap muka pada lambang-lambang simbol yang ada.
Terlepas
dari itu semua, sepertinya ada kesan mendalam yang disisipkan-Nya dalam
kejadian-kejadian peristiwa bencana alam di atas, yaitu mau beramal
shalih dan berqurban. Hari raya Qurban itu sendiri adalah untuk
memperingati Nabi Ibrahim As yang menebus putranya dengan sembelihan
yang agung. Dalam kilasan peristiwa tersebut seolah-olah kita diingatkan
untuk mau bersikap seperti Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan harta
satu-satunya, yakni putranya sendiri Ismail kepada Allah SWT, meski di
akhir kisahnya ia digantikan dengan seekor libas gemuk dan dagingnya
dibagi-bagikan kepada kaum miskin. Mencintai Allah SWT itulah inti dari
rentetan cobaan di atas. Konsepsi dasarnya adalah mencintai Allah SWT
yang diwujudkan dengan mencintai sesama manusia. Makna berkurban
tidaklah harus dengan membeli hewan ternak saja, namun lebih luas dalam
segala hal yang kita miliki. Mulai dari perhatian, cinta kasih,
kesabaran, tenaga, pemikiran dan lain-lain. Bagi para orang kaya
berkurban mungkin berarti membagi harta, bagi kaum cendikia membagi
sumbang saran dan pemikiran, bagi pemilik kekuasaan adalah perbaikan
kebijakan bagi kemaslahatan umat, sedang bagi yang emosional adalah
kesabaran. Maka jelas miskin di sini dalam arti luas, bukan miskin harta
saja, tetapi lebih pada miskin hati, perasaan, kepekaan dan lain-lain.
Bagi
umat Islam yang berkecukupan dan mampu untuk melaksanakan kurban adalah
hukumnya wajib. Melakukan penyembelihan di waktu pagi pada hari raya
Idul Adha dan harus dihadiri atau disaksikan semua umat memiliki arti
tersendiri. Seolah-olah melalui Idul Qurban dihancurkan hubungan
perlambang simbol antara dua golongan kaya dengan si miskin. Dalam
kondisi tersebut mereka akan dapat bertatap muka satu sama dengan yang
lain. Berhubungan hanya melalui sebuah kotak amal bagi orang kaya dan mi
instan atau nasi bungkus bagi orang miskin tidak terjadi lagi. Utamanya
dengan adanya ruang bertemu dan bertatap muka tersebut akan muncul rasa
cinta dan kasih sayang antara dua golongan tersebut. Saling percaya dan
berbagi rasa akan semakin mengikis kearoganan, keapatisan yang tumbuh
selama ini dalam ruang batin mereka.
Kasih
sayang dan cinta kasih sesama adalah bentuk pengorbanan yang paling
utama dalam hal ini. Mungkin bila diukur nilainya lebih besar daripada
apapun bagi kaum miskin dan tertindas saat ini. Beberapa kali terlihat,
bagi mereka yang terkena bencana banjir di Jakarta saat ini sangatlah
haus rangkulan kasih sayang, bukan hanya dalam bentuk harta tapi
perhatian dan kepedulian. Sumbangan tersebut bagi mereka akan terasa
lebih indah dan berarti bila ditambah dengan bantuan harta tentunya.
Dengan adanya tali kasih dan cinta sesama yang ditebar dalam perayaan
Idul Adha akan menciptakan nuansa-nuansa baru dalam kehidupan
bermasyarakat. Dimana tidak ada lagi permusuhan, kebencian, dan perasaan
tertindas. Mereka akan merasa dalam satu posisi yang sama. Bila
diibaratkan mereka akan merasa dalam satu kapal yang sama dengan
dinahkodai oleh orang-orang dari kaumnya.
Perasaan
tersebut akan menimbulkan kepercayaan dalam hidup berbangsa dan
bernegara, sehingga tidak akan ada ketidakpuasan dan konflik-konflik
batin seputar masalah tersebut yang digunakan oknum-oknum tertentu untuk
kendaraan politiknya. Dalam hal ini jelas telah tercipta pendewasaan
sikap masyarakat lewat penanaman kasih sayang yang dalam. Diakui
penulis, bahwa sampai saat ini sudah terlihat begitu besar kepedulian
masyarakat satu dengan yang lain. Hal ini terlihat dengan bahu
membahunya masyarakat kita membantu sebagian mereka yang terkena
bencana. Telah ada pendobrakan nilai-nilai individulis dalam diri
masyarakat beberapa waktu yang lalu. Dalam kesempatan ini sepertinya ada
ajakan moral yang tersirat dalam Idul Adha ini untuk tidak sekedar
membantu, tapi lebih pada mencintai dan kasih sayang antar sesama dalam
melewati segala bencana yang ada.
Tidak
ada lagi hubungan komunikasi simbolik yang hanya mengandalkan
lambang-lambang dan simbol yang akan menjadi berhala tak bernyawa yang
menghubungkan antara orang kaya dan miskin. Berhala-berhala simbol yang
rentan pada penyisipan penyelewengan sikap, manipulasi dan kepentingan
pribadi yang akan menimbulkan konflik di masyarakat. Oleh karenanya
dalam kesempatan perayaan hari raya ini hendaknya kita meningkatkan
ketaatan pada Allah SWT lewat penanaman kasih sayang dengan mengorbankan
apapun yang kita miliki guna meringankan beban orang lain. Jadi jelas
hari raya Qurban adalah milik semua orang bukan hanya orang kaya saja.