Zona Malam - Dulu waktu kecil saya terpukau dengan yang namanya dokter, seragam putihnya dan bau ruangannya. Mungkin jika yang namanya steril bisa didefinisikan lewat penciuman, semua mengarah ke ruangan seorang dokter yang sangat berbeda dengan kantor tempat ayah saya bekerja. Setiap ada orang bertanya, “Kalau besar mau jadi apa?” lekas kujawab, “Jadi dokter.” tetapi sangat disayangkan otak yang saya punya cuma pas-pasan. Lagipula di mata ayah saya, profesi dokter tidak lebih prestis dan sangat jauh ketimbang ustaz-ustaz yang suka jualan agama di mimbar masjid. Itulah profesi paling mulia di mata ayah saya. Sebagai anak pertama saya harus mengikutinya. Di tambah lagi sumpah serapah ayah waktu saya dapat nilai merah pada pelajaran Matematika, “Goblok!” ya goblok katanya, “Bagaimana mau jadi dokter kalau Matematika merah.”
Nahasnya peristiwa itu terus tertanam di kepala saya hingga sekarang saya membenci Matematika. Namun sampai setahun lalu saya masih mengagumi profesi dokter. Ada sebuah film yang saya suka tentang dunia kedokteran, yaitu Dr. House, andaikan saya seorang dokter mungkin berlagak mirip Dr. House yang nyentrik dan nyeleneh. Bicara soal nyeleneh, dari kecil yang namanya nyeleneh sudah menjadi tabiat saya. Ciri khas ke-nyelenehan saya adalah anti kemapanan dan anti dominasi walaupun tidak pernah melakukan pemberontakan atas dominasi tersebut. Contohnya ketika ayah saya menyekolahkan ke Pesantren. Terus terang saya membenci keputusan itu. Namun karena tidak bisa memberontak terpaksa saya turuti saja kemauannya. Enam tahun di pesantren masa sekolah menjemukan dan saya lalui dengan kenyelenahan. Misalkan, saya malah asik main band dan sering bolos. Saya tidak pernah masuk pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia. Sewaktu digiring ke kantor guru kanseling, saya bentak-bentak si guru, “kalau memang nggak suka ya nggak suka. Mau diapain lagi.”
Lantas mengapa saya bisa lulus pesantren? karena semua pelajaran berbau sejarah, bahasa Arab-Inggris, dan filsafat ternyata mendapatkan nilai tinggi. Jujur waktu itu saya belum kenal filsafat sampai ketika ke Mesir salah seorang mahasiswa semester akhir memberikan buku Dunia Sophie yang membuat saya takjub. Baru saya sadari bahwa antropologi, sosiologi, sejarah, dan pelajaran-pelajaran yang telah meluluskan saya dari dunia sekolahan, semuanya bersumber dari filsafat. Akhirnya saya tidak pernah belajar apapun di Mesir, kerjaan saya cuma membaca buku-buku filsafat dan jalan-jalan mengunjungi situs-situs wisata yang berbau mitos dan sejarah. Sekali lagi saya nyeleneh. Mungkin ke-nyelenehan saya juga berasal dari ayah saya, misalkan ayah saya selalu meloncat-loncat dari satu aliran ke aliran lain dalam beragama. Dari NU, Muhammadiyah, PERSIS, Jama’ah Tabligh, Sufi, dan lain-lain. Yang menjengkelkan adalah setiap dia meloncat, selalu mengajak saya ke tempat-tempat yang dia loncati. Namun ayah saya mentok di Wahabi yang mematrinya sampai mustahil meloncat kesana-kemari lagi.
Suatu ketika ayah saya bilang, “Dulu kamu kepengin jadi dokter.” dalam hati saya berkata, andai tidak disekolahkan ke agama pasti sudah jadi dokter. “Bagaimana kalau cari istri yang dokter saja?” katanya. Aduh, ide gila apa lagi ini. Sulitnya jadi anak pertama adalah bahwa kamu harus menurut apa kata orang tua karena kamu pewaris tahta. Ya, Tuhan, mengapa ajaran feodal begini terus diterapkan di negeri ini. Okelah lagi-lagi saya mengiyakan ketika dikenalkan oleh seorang dokter, anak kawan bisnis ayah saya. Di sinilah muncul kejijikan saya terhadap profesi dokter setelah bertahun selalu saya kagumi. Mungkin saya terlalu sterotip, tetapi perjumpaan itu telah mengubah persepsi saya. Apalagi di Indonesia setelah adanya komersialisasi pendidikan, yang namanya dokter itu kebanyakan dari kalangan orang kaya. Biaya kuliahnya saja mahal, kalau tidak dapat beasiswa mustahil masuk jurusan kedokteran selain anak orang kaya.
Sebut saja namanya Nina, berkulit putih, cantik, dan berambut sebahu. Saya heran mengapa calon dokter itu suka mengenakan blus putih berleher tinggi berlengan panjang. Mahasiswi kedokteran di kampus tempat saya mengambil pendidikan pascasarjana juga banyak pemandangan begitu, mereka berjalan dengan rata-rata pakaian serupa ditambah jas putih yang dulu bagian dari simbol yang saya kagumi. Tetapi setelah saya memelajari bagaimana simbol menurut Melucci dapat memobilisasi massa dan dijadikan bagian dari relasi kuasa-pengetahuan ala Foucault, atau perang simbol dalam simulacra-nya Baudrillard. Justru penampilan Nina di depan saya tampak menggelikan, seolah dia hendak menghegemoni saya dengan menunjukkan pakaiannya agar saya menangkap representasi simbol itu dan mengiyakan kewibawaannya. “Saya dokter lho.” mungkin begitu kalau diterjemahkan dengan kata-kata.
Latar belakang ayahnya si Nina adalah muallaf yang ketika masuk Islam langsung bertemu aliran Wahabi yang puritan. Entah mungkin dia kecewa terhadap ayahnya yang tiba-tiba menjadi keras dalam mendidik anak-anaknya, yang kutangkap ada kemarahan di dalam dirinya ketika obrolan kami menyerempet kepada agama. Sambutannya hanya kalimat sarkastik. Menurut saya mungkin dia marah karena dunia sains yang dia pelajari sama sekali tidak mendapatkan penghargaan dari ayahnya. Karena itu dia membenci perbincangan tentang agama. Pertama kali yang saya tangkap darinya adalah ke-eksakta-an cara berpikir seorang dokter bahwa 1+1=2. Itulah rumus umum dalam kehidupan bagi seorang dokter, tetap berpegang pada rumus atau pedoman utama. Islam itu kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan berhaji. Itu saja.
“Ya, itu saja memang. Tetapi yang lima hal itu tidak akan bisa kita baca sekarang jika pada abad ke 2 Hijriah ada orang bernama Bukhari yang mulai mengkodifikasi hadis sampai berkeliling dunia hanya untuk mencari mata rantai periwayatan hadis.” dan itulah sejarah. Terlalu mengenaskan jika sejarah dipisahkan dari produknya.
“Kenapa sih kita tidak bisa hidup seperti kebanyakan orang.” dan yang dia maksud adalah seperti bagaimana orang lain menikmati dunia ini dengan damai dan tenang tanpa ada perdebatan siapakah yang sesat di antara Sunni atau Syi’ah. Tanpa ada perdebatan panjang hanya untuk mengatakan mana yang bid’ah dan kafir. “Mengapa kita tidak bisa hidup dengan yang objektif-objektif saja, yang sudah diketahui kebenarannya secara saintifik.” seperti, mengapa harus memertentangkan antara berbekam dan menyuntik antibiotik hanya karena berbekam itu sunnah Nabi. Atau apa pentingnya memerjuangkan orang sakit untuk meminum Habbat Sauda, ketimbang diterapi seorang dokter ahli, hanya karena ada hadis mengatakan bahwa Habbat Sauda itu obat dari segala obat selain kematian. Nina sudah lelah dengan semua itu, dan membuatnya lelah terhadap obrolan tentang agama.
Akhirnya yang dia bicarakan soal dunia kedokteran yang ingin dia kejar, tentang penelitian-penelitian hebat ilmuan-ilmuan dunia. Kamu pikir saya nggak tahu apa-apa tentang sains. Padahal kalau dia mau bicara soal sains dalam agama, lihat saja para filsuf-filsuf muslim yang juga merangkap sebagai dokter atau saintis yang terkenal di zamannya. Ada Ibn Rusyd (Averroes), Ibn Sina (Avicena), Al-Khawarizmi, dan sejumlah ilmuan lainnya. Mereka itu tidak terlepas dari membaca karya filsuf-filsuf Yunani, sejarah, dan sumber pengetahuan lain dalam mengembangkan keilmuan mereka. Namun dia tidak mau tahu soal itu, menurutnya apa yang saya ceritakan adalah zaman kegelapan, dan abad modern adalah zaman pencerahan. So, jadi sekarang dia bicara gaya positivisme-nya Comte yang sudah usang dan banyak kena kritikan. Itulah kurangnya seseorang yang belajar kedokteran, tidak punya kajian interdisipliner di kepalanya. Saya bersyukur dulu di SMA tidak lulus masuk IPA dan terhempas di IPS. Sedangkan di pesantren saya, jurusan IPS adalah kumpulan anak-anak berotak pas-pasan. Sementara jurusan IPA terdiri dari orang-orang jenius yang menempati posisi sepuluh besar dari semua kelas sebelum ada program penjurusan. Sebenarnya ada satu lagi jurusan Bahasa yang redup dan mati di kandang sendiri, karena kekuatan pesantren pada dasarnya penguasaan bahasa Arab dan Inggris, namun ketika zaman saya sekolah benar-benar tak ada peminatnya.
Obrolan demi obrolan dengan Nina semakin membuat saya menganggapnya perempuan naif, dan cuma bisa bikin saya diam sembari memaki dalam hati. Kekaguman akan profesi yang pernah saya cita-citakan itu kandas sudah. “Bagaimana, cocok nggak sama si dokter?” tanya ayah saya beberapa bulan setelah perkenalan itu. Jawaban saya cuma angkat bahu, “Nggak tahulah.” maksud saya begitu. Mungkin memang saya tidak cocok jadi dokter dan beristri seorang dokter. Mulai saat itu saya kembali nyeleneh, bahwa jodoh bukanlah di tangan Tuhan, melainkan di tangan saya sendiri. Wewenang Tuhan itu sudah saya rampas. Ketetapan saya adalah bahwa dokter bukanlah jodoh saya.
Nahasnya peristiwa itu terus tertanam di kepala saya hingga sekarang saya membenci Matematika. Namun sampai setahun lalu saya masih mengagumi profesi dokter. Ada sebuah film yang saya suka tentang dunia kedokteran, yaitu Dr. House, andaikan saya seorang dokter mungkin berlagak mirip Dr. House yang nyentrik dan nyeleneh. Bicara soal nyeleneh, dari kecil yang namanya nyeleneh sudah menjadi tabiat saya. Ciri khas ke-nyelenehan saya adalah anti kemapanan dan anti dominasi walaupun tidak pernah melakukan pemberontakan atas dominasi tersebut. Contohnya ketika ayah saya menyekolahkan ke Pesantren. Terus terang saya membenci keputusan itu. Namun karena tidak bisa memberontak terpaksa saya turuti saja kemauannya. Enam tahun di pesantren masa sekolah menjemukan dan saya lalui dengan kenyelenahan. Misalkan, saya malah asik main band dan sering bolos. Saya tidak pernah masuk pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia. Sewaktu digiring ke kantor guru kanseling, saya bentak-bentak si guru, “kalau memang nggak suka ya nggak suka. Mau diapain lagi.”
Lantas mengapa saya bisa lulus pesantren? karena semua pelajaran berbau sejarah, bahasa Arab-Inggris, dan filsafat ternyata mendapatkan nilai tinggi. Jujur waktu itu saya belum kenal filsafat sampai ketika ke Mesir salah seorang mahasiswa semester akhir memberikan buku Dunia Sophie yang membuat saya takjub. Baru saya sadari bahwa antropologi, sosiologi, sejarah, dan pelajaran-pelajaran yang telah meluluskan saya dari dunia sekolahan, semuanya bersumber dari filsafat. Akhirnya saya tidak pernah belajar apapun di Mesir, kerjaan saya cuma membaca buku-buku filsafat dan jalan-jalan mengunjungi situs-situs wisata yang berbau mitos dan sejarah. Sekali lagi saya nyeleneh. Mungkin ke-nyelenehan saya juga berasal dari ayah saya, misalkan ayah saya selalu meloncat-loncat dari satu aliran ke aliran lain dalam beragama. Dari NU, Muhammadiyah, PERSIS, Jama’ah Tabligh, Sufi, dan lain-lain. Yang menjengkelkan adalah setiap dia meloncat, selalu mengajak saya ke tempat-tempat yang dia loncati. Namun ayah saya mentok di Wahabi yang mematrinya sampai mustahil meloncat kesana-kemari lagi.
Suatu ketika ayah saya bilang, “Dulu kamu kepengin jadi dokter.” dalam hati saya berkata, andai tidak disekolahkan ke agama pasti sudah jadi dokter. “Bagaimana kalau cari istri yang dokter saja?” katanya. Aduh, ide gila apa lagi ini. Sulitnya jadi anak pertama adalah bahwa kamu harus menurut apa kata orang tua karena kamu pewaris tahta. Ya, Tuhan, mengapa ajaran feodal begini terus diterapkan di negeri ini. Okelah lagi-lagi saya mengiyakan ketika dikenalkan oleh seorang dokter, anak kawan bisnis ayah saya. Di sinilah muncul kejijikan saya terhadap profesi dokter setelah bertahun selalu saya kagumi. Mungkin saya terlalu sterotip, tetapi perjumpaan itu telah mengubah persepsi saya. Apalagi di Indonesia setelah adanya komersialisasi pendidikan, yang namanya dokter itu kebanyakan dari kalangan orang kaya. Biaya kuliahnya saja mahal, kalau tidak dapat beasiswa mustahil masuk jurusan kedokteran selain anak orang kaya.
Sebut saja namanya Nina, berkulit putih, cantik, dan berambut sebahu. Saya heran mengapa calon dokter itu suka mengenakan blus putih berleher tinggi berlengan panjang. Mahasiswi kedokteran di kampus tempat saya mengambil pendidikan pascasarjana juga banyak pemandangan begitu, mereka berjalan dengan rata-rata pakaian serupa ditambah jas putih yang dulu bagian dari simbol yang saya kagumi. Tetapi setelah saya memelajari bagaimana simbol menurut Melucci dapat memobilisasi massa dan dijadikan bagian dari relasi kuasa-pengetahuan ala Foucault, atau perang simbol dalam simulacra-nya Baudrillard. Justru penampilan Nina di depan saya tampak menggelikan, seolah dia hendak menghegemoni saya dengan menunjukkan pakaiannya agar saya menangkap representasi simbol itu dan mengiyakan kewibawaannya. “Saya dokter lho.” mungkin begitu kalau diterjemahkan dengan kata-kata.
Latar belakang ayahnya si Nina adalah muallaf yang ketika masuk Islam langsung bertemu aliran Wahabi yang puritan. Entah mungkin dia kecewa terhadap ayahnya yang tiba-tiba menjadi keras dalam mendidik anak-anaknya, yang kutangkap ada kemarahan di dalam dirinya ketika obrolan kami menyerempet kepada agama. Sambutannya hanya kalimat sarkastik. Menurut saya mungkin dia marah karena dunia sains yang dia pelajari sama sekali tidak mendapatkan penghargaan dari ayahnya. Karena itu dia membenci perbincangan tentang agama. Pertama kali yang saya tangkap darinya adalah ke-eksakta-an cara berpikir seorang dokter bahwa 1+1=2. Itulah rumus umum dalam kehidupan bagi seorang dokter, tetap berpegang pada rumus atau pedoman utama. Islam itu kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan berhaji. Itu saja.
“Ya, itu saja memang. Tetapi yang lima hal itu tidak akan bisa kita baca sekarang jika pada abad ke 2 Hijriah ada orang bernama Bukhari yang mulai mengkodifikasi hadis sampai berkeliling dunia hanya untuk mencari mata rantai periwayatan hadis.” dan itulah sejarah. Terlalu mengenaskan jika sejarah dipisahkan dari produknya.
“Kenapa sih kita tidak bisa hidup seperti kebanyakan orang.” dan yang dia maksud adalah seperti bagaimana orang lain menikmati dunia ini dengan damai dan tenang tanpa ada perdebatan siapakah yang sesat di antara Sunni atau Syi’ah. Tanpa ada perdebatan panjang hanya untuk mengatakan mana yang bid’ah dan kafir. “Mengapa kita tidak bisa hidup dengan yang objektif-objektif saja, yang sudah diketahui kebenarannya secara saintifik.” seperti, mengapa harus memertentangkan antara berbekam dan menyuntik antibiotik hanya karena berbekam itu sunnah Nabi. Atau apa pentingnya memerjuangkan orang sakit untuk meminum Habbat Sauda, ketimbang diterapi seorang dokter ahli, hanya karena ada hadis mengatakan bahwa Habbat Sauda itu obat dari segala obat selain kematian. Nina sudah lelah dengan semua itu, dan membuatnya lelah terhadap obrolan tentang agama.
Akhirnya yang dia bicarakan soal dunia kedokteran yang ingin dia kejar, tentang penelitian-penelitian hebat ilmuan-ilmuan dunia. Kamu pikir saya nggak tahu apa-apa tentang sains. Padahal kalau dia mau bicara soal sains dalam agama, lihat saja para filsuf-filsuf muslim yang juga merangkap sebagai dokter atau saintis yang terkenal di zamannya. Ada Ibn Rusyd (Averroes), Ibn Sina (Avicena), Al-Khawarizmi, dan sejumlah ilmuan lainnya. Mereka itu tidak terlepas dari membaca karya filsuf-filsuf Yunani, sejarah, dan sumber pengetahuan lain dalam mengembangkan keilmuan mereka. Namun dia tidak mau tahu soal itu, menurutnya apa yang saya ceritakan adalah zaman kegelapan, dan abad modern adalah zaman pencerahan. So, jadi sekarang dia bicara gaya positivisme-nya Comte yang sudah usang dan banyak kena kritikan. Itulah kurangnya seseorang yang belajar kedokteran, tidak punya kajian interdisipliner di kepalanya. Saya bersyukur dulu di SMA tidak lulus masuk IPA dan terhempas di IPS. Sedangkan di pesantren saya, jurusan IPS adalah kumpulan anak-anak berotak pas-pasan. Sementara jurusan IPA terdiri dari orang-orang jenius yang menempati posisi sepuluh besar dari semua kelas sebelum ada program penjurusan. Sebenarnya ada satu lagi jurusan Bahasa yang redup dan mati di kandang sendiri, karena kekuatan pesantren pada dasarnya penguasaan bahasa Arab dan Inggris, namun ketika zaman saya sekolah benar-benar tak ada peminatnya.
Obrolan demi obrolan dengan Nina semakin membuat saya menganggapnya perempuan naif, dan cuma bisa bikin saya diam sembari memaki dalam hati. Kekaguman akan profesi yang pernah saya cita-citakan itu kandas sudah. “Bagaimana, cocok nggak sama si dokter?” tanya ayah saya beberapa bulan setelah perkenalan itu. Jawaban saya cuma angkat bahu, “Nggak tahulah.” maksud saya begitu. Mungkin memang saya tidak cocok jadi dokter dan beristri seorang dokter. Mulai saat itu saya kembali nyeleneh, bahwa jodoh bukanlah di tangan Tuhan, melainkan di tangan saya sendiri. Wewenang Tuhan itu sudah saya rampas. Ketetapan saya adalah bahwa dokter bukanlah jodoh saya.
sumber : http://lifestyle.kompasiana.com/