Sebut saja namanya kiai A, Ia mengeluarkan fatwa yang kontroversial.
Kurang lebih begini bunyinya,
“Haram hukumnya bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan wanita
sekantor.” Terang saja fatwa ini memancing perdebatang sengit di
sana-sini. Terutama, dikalangan profesional. Dengan serta merta mereka
menyatakan menyatakan bahwa ulama tersebut telah gegabah mengambil
keputusan.
Untuk mencegah polemik yang berkepanjangan, maka seorang anggota dewan memanggil ulama tersebut.
“Maaf, Pak,” tegur si anggota
dewan. “Apa benar Bapak yang mengemukakan fatwa yang mengharamkan
laki-laki untuk menikah dengan wanita sekantor?”
“Ya, benar,” jawab sang Ulama pendek
“Hm, apa fatwa itu tidak berlebihan?” kembali si anggota Dewan bertanya.
“Sama sekali tidak, Pak,”sahut Sang Ulama.
“Kalau boleh tahu, apa dalilnya, ya?” lagi-lagi si Anggota Dewan bertanya.
“Tidak perlu pakai dalil, Pak. Itu memang haam,” tandas Sang Ulama tegas.
“Pasti ada penjelasannya kan?” desak Si anggota Dewan.
“Begini, Pak,” Sang Ulama coba
memaparkan. “Menikahi dua orang wanita saja sudah berat. Lha, apalagi
sekantor! Satu kantor itu kan banyak sekali jumlahnya! Yang benar saja,
Pak!