Pada bulan Mei 1619 Gubernur Jendral J.P. Coen berhasil menaklukkan Jayakarta dan berambisi untuk membangun sebuah kota baru. Sebuah nama telah disiapkan yaitu De Hoorn, yang berasal dari nama kota kelahirannya di Noord Holland.
Tapi dalam suatu pesta, seorang serdadu VOC yang tengah mabuk meneriakkan kata-kata: Batavia… Batavia… Dan nama Batavia itu adalah sebutan untuk Bataviren van Oranye, yaitu suatu suku bangsa di Jerman yang pada tahun 100 SM menempati Pulau Bataviren. Maka, entah bagaimana jalannya kemudian nama Batavia menjadi lebih popular mengalahkan nama yang telah disiapkan oleh JP Coen. Apalagi kemudian ternyata para pemilik saham VOC menyetujui nama Batavia tersebut.
Dan resmilah Batavia menjadi pengganti dari nama Jayakarta (1619-1942), sebelum kemudian akhirnya berubah menjadi Djakarta (1942-1972) dan selanjutnya dengan ejaan baru menjadi Jakarta hingga sekarang. Tahun 1673 jumlah penduduk kota Batavia adalah 27.086 orang yang terdiri atas 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang China, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Selebihnya, 13.278 orang, adalah budak dari berbagai suku dan bangsa. Orang China paling banyak populasinya karena memang sebagian didatangkan oleh Belanda sebagai pekerja di pertambangan, pelabuhan, pertukangan, dan perdagangan.
Sayangnya orang-orang China di Batavia mempunyai kebiasaan buruk, yaitu gemar berjudi dan mengisap candu. Mereka juga tenggelam dalam kegiatan-kegiatan maksiat sehingga pemerintah Kolonial lalu memutuskan untuk menyediakan satu jalan untuk rumah-rumah judi.
Pada masa itu Batavia juga sudah menarik perhatian bagi para pendatang sehingga adanya kelompok-kelompok etnis tersebut masih tersisa sampai sekarang sebagai nama-nama daerah atau kampung. Seperti Kampungmelayu, Kampungjawa, Makasar, Kampungbali, Kampungambon, Kampungbandan, Kampungbugis, Pekojan, Manggarai, Matraman (berasal dari tentara Mataram), dan Ragunan yang berasal dari nama Wiraguna.
Kelompok-kelompok etnis tersebut pada mulanya menempati berbagai wilayah yang merupakan hadiah dari pemerintah Belanda. Lama-kelamaan mereka memboyong kerabatnya dari kampung dan jumlah penduduk semakin membengkak karena perkawinan. Kini kampung-kampung yang berbau etnis itu telah menjadi daerah multietnis dan ditinggali berbagai etnis. (Kompas.com; Republika.co.id/ill: strada.or.id)
sumber
Tapi dalam suatu pesta, seorang serdadu VOC yang tengah mabuk meneriakkan kata-kata: Batavia… Batavia… Dan nama Batavia itu adalah sebutan untuk Bataviren van Oranye, yaitu suatu suku bangsa di Jerman yang pada tahun 100 SM menempati Pulau Bataviren. Maka, entah bagaimana jalannya kemudian nama Batavia menjadi lebih popular mengalahkan nama yang telah disiapkan oleh JP Coen. Apalagi kemudian ternyata para pemilik saham VOC menyetujui nama Batavia tersebut.
Dan resmilah Batavia menjadi pengganti dari nama Jayakarta (1619-1942), sebelum kemudian akhirnya berubah menjadi Djakarta (1942-1972) dan selanjutnya dengan ejaan baru menjadi Jakarta hingga sekarang. Tahun 1673 jumlah penduduk kota Batavia adalah 27.086 orang yang terdiri atas 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang China, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Selebihnya, 13.278 orang, adalah budak dari berbagai suku dan bangsa. Orang China paling banyak populasinya karena memang sebagian didatangkan oleh Belanda sebagai pekerja di pertambangan, pelabuhan, pertukangan, dan perdagangan.
Sayangnya orang-orang China di Batavia mempunyai kebiasaan buruk, yaitu gemar berjudi dan mengisap candu. Mereka juga tenggelam dalam kegiatan-kegiatan maksiat sehingga pemerintah Kolonial lalu memutuskan untuk menyediakan satu jalan untuk rumah-rumah judi.
Pada masa itu Batavia juga sudah menarik perhatian bagi para pendatang sehingga adanya kelompok-kelompok etnis tersebut masih tersisa sampai sekarang sebagai nama-nama daerah atau kampung. Seperti Kampungmelayu, Kampungjawa, Makasar, Kampungbali, Kampungambon, Kampungbandan, Kampungbugis, Pekojan, Manggarai, Matraman (berasal dari tentara Mataram), dan Ragunan yang berasal dari nama Wiraguna.
Kelompok-kelompok etnis tersebut pada mulanya menempati berbagai wilayah yang merupakan hadiah dari pemerintah Belanda. Lama-kelamaan mereka memboyong kerabatnya dari kampung dan jumlah penduduk semakin membengkak karena perkawinan. Kini kampung-kampung yang berbau etnis itu telah menjadi daerah multietnis dan ditinggali berbagai etnis. (Kompas.com; Republika.co.id/ill: strada.or.id)
sumber